Menurut wikipedia bahasa Indonesia tawuran atau Tubir
adalah istilah yang sering digunakan masyarakat Indonesia, khususnya di
kota-kota besar sebagai perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh
sekelompok atau suatu rumpun masyarakat. Sebab tawuran ada beragam, mulai dari
hal sepele sampai hal-hal serius yang menjurus pada tindakan bentrok.
Tawuran rasanya bukan sesuatu yang baru kita dengar yah.
Sepertinya sejak zaman ayah-bunda atau mungkin kakek-nenek kejadian ini sudah
sering terjadi, pertikaian siswa antar sekolah. Entah apa yang menyebabkan
pangkal keributan. Umumnya masalah gank-gankan kah? Selain itu dalam periode
tertentu, media pasti ada saja meliput tentang siswa sekolah yang tawuran. Kali
ini, satu sekolah disorot habis-habisan karena aksi salah satu siswanya
yang–menurut berita yang beredar–melakukan tindak kekerasan pada salah satu
wartawan yang hendak meliput. Dalam pandangan saya, karena peristiwa ini
melibatkan wartawan sebagai korban, maka berita menjadi besar dan disorot
khalayak. Bisa jadi karena solidaritas sesama pekerja media, wartawan dari
media lain turut menghembuskan berita ini hingga terdengar kemana-mana, membuat
satu nama sekolah ini menjadi “terkenal”.
Yang menggelitik indra saya bukanlah masalah sikap media
yang menggemakan berita ini, tapi budaya tawuran itu sendiri yang masih awet
hingga kini. KENAPA?
Masih segar di ingatan saya, sejak SD kita sudah diajarkan budi
pekerti melalui pelajaran PKn, juga ada pelajaran agama, yang intinya harus
saling menghargai dengan orang lain, tenggang rasa, dan kawan-kawannya. Tidak
ada satu butir pun dari pelajaran sekolah yang mengajarkan tindak kekerasan.
Dari mana hasrat tawuran itu berasal dan kenapa bisa membudaya? Apakah sekolah
sebagai penyelenggara pendidikan bisa dikatakan gagal dalam mendidik akhlak
para calon penerus bangsa? Atau orangtuanyakah yang kurang bisa mendidik mereka
untuk tidak menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar masalah.
Orang berkelahi biasanya dikarenakan gelegak emosi yang tak
terkendali hingga merangsang saraf motorik menggunakan anggota tubuh untuk
menyerang orang yang membuat mereka emosi, sekaligus untuk meluapkan emosi itu
sendiri. Bisa dikatakan, adanya perkelahian adalah karena kurang bisanya
seseorang dalam mengontrol emosi mereka. Seseorang yang kurang bisa mengontrol
emosi, kepada siapa mereka harus berlabuh agar dapat menguasai diri mereka
sendiri? Sekolah melalui bimbingan konseling? Orangtua? Lembaga keagamaan?
Ironisnya adalah, kata tawuran kerap diasosiasikan kepada
lembaga pendidikan. Sebuah institusi untuk mendidik para calon penerus bangsa
agar kelak dapat memberikan kontribusi yang baik di masyarakat. Kejadian
tawuran di institusi tersebut jelas akan mencoreng nama sekolah tersebut karena
dinilai tidak mampu menjaga anak-anak didik mereka terhindar dari bentrokan
fisik. Tidak mampu mengajari siswa menjauhi aksi premanisme.
Melihat fenomena ini saya jadi berpikir, apakah kurikulum
sekolah terlalu menitikberatkan pengembangan intelegensia dibanding
pengembangan emosi (EQ), padahal setahu saya kini di perusahaan-perusahaan pun
lebih mempertimbangkan calon karyawan yang memiliki EQ tinggi daripada IQ.
Apakah Mendiknas perlu mengkaji ulang kurikulum pendidikan? Jika lembaga
pendidikan tidak mengambil langkah pasti untuk memerangi aksi kekerasan yang
dilakukan siswa, saya khawatir bagaimana mereka ke depannya? Bagaimana jika
suatu hari mereka harus memimpin masyarakat? Apakah mereka akan mempertontonkan
kembali aksi kekerasan di gedung parlemen?
Saya mengerti bahwa mereka masih usia pubertas, bisa
dibilang masih labil dan tengah mencari jati diri, justru pada masa-masa
transisi inilah perlu ada pihak yang mampu membimbing pembentukan karakter dan
kepribadian mereka. Saya tidak secara penuh menuding lembaga pendidikanlah yang
harus bertanggungjawab, tapi lembaga pendidikan memegang peranan penting di
samping orangtua mereka, untuk turut mengarahkan mental anak didiknya. Selain
itu, anak-anak lebih banyak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah
bukan? Jangan sampai kita kecolongan generasi muda yang berpotensi hanya karena
kurangnya pengarahan dalam pembentukan kepribadian mereka. Besar sekali harapan
saya bahwa budaya tawuran ini lenyap dari bumi Indonesia dan benar-benar
menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang cinta damai.