Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Inspirasi Kehidupan

Selasa, 29 Maret 2011

Nuansa HAM di Indonesia

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of  USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia. Contoh hak asasi manusia (HAM) seperti Hak untuk hidup, Hak untuk memperoleh pendidikan, Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain, Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama, Hak untuk mendapatkan pekerjaan. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh HAM di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Wajah HAM di Indonesia kelihatannya masih buram walau secercah harapan sebenarnya telah tergoreskan secara pasti dalam konstitusi yang menyiratkan bahwa HAM tersurat dan menjadi ketentuan hukum yang kuat dan mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa diskriminasi.
Namun dalam tataran implementasi masih jauh panggang daripada api. Ketentuan hukumnya sudah sangat baik, tetapi pelaksanaannya masih sangat jauh dari harapan. Korban-korban HAM masih terus bertambah, berbagai kasus HAM tidak terselesaijan secara tuntas.
Komnas HAM yang diharapkan sebagai lembaga yang dibangun untk menyelesaikan masalah HAM di Indonesia dengan slogannya yang kelihatan indah, “HAM untuk SEMUA” kelihatan perannya hanya sebatas tempat mengadu dan kolektor berbagai persolan HAM di Indonesia.
Demikian juga Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang hadir di tengah-tengah lautan persoalan HAM di Indonesia dengan otoritas yang sangat kuat dan slogannnya yang sangat luar biasa, “Semua untuk HAM-HAM untuk Semua” ternyata juga lemah dalam menyelesaikan masalah-masalah HAM di negeri ini, apalagi kalau pelanggar-pelanggar HAM melibatkan petinggi-petinggi negeri maka ketidakberdayaan itu semakin jelas dan keberpihakan muncul secara telanjang.
Kalau terjadi pelanggaran HAM di lapangan, yang sering terjadi adalah tindakan aparat hukum yang melakukan pembiaran atas tindak pelanggaran dan baru turun tangan setelah pelanggaran HAM terjadi, dan ironisnya pelanggarnya dibiarkan pergi dan korbanlah yang berurusan dengan aparat.
Salah satu contoh yang marak terjadi adalah pelanggaran HAM dalam hal kebebasan beribadah dan beragama. Korban yang sudah menderita karena teror, intimidasi, dan penganiayaan, tambah menderita lagi, karena “demi” keamanan dan ketertiban”korban diharuskan menutup tempat ibadahnya dan dilarang melakukan kegiatan ibadah di tempat tersebut.
HAM juga kelihatan lebih menarik dijadikan komoditas politik terutama menjelang Pemilu 2009, HAM mulai dilirik dan diangkat kepermukaan oleh parpol-parpol peserta Pemilu 2009 tentunya dengan janji-janji manis untuk menuntaskan berbagai persoalan HAM di Indonesia. Tetapi nanti dulu, mari kita lihat janji Presiden kita pada Pemilu 2004, pada tahap awal pemerintahannya. SBY berpidato dengan semangat yang luar biasa dan meyakinkan dalam tema pidato yang juga luar biasa meyakinkan dan menjanjikan: “INDONESIAKU UNTUK SEMUA, MAJU BERSAMA, MAKMUR BERSAMA.”
Dalam pidatonya, Susilo Bambang Yudhoyono yang saat ini adalah Presiden Republik Indonesia mengatakan: “Setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama, secara hukum tidak boleh lagi ada perlakuan yang diskriminatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Oleh karenanya di tahap awal pemerintahan saya nanti, saya pastikan dilakukan evaluasi dan penghentian setiap aturan dan praktek kehidupan dikriminatif, baik yang terjadi di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Kita harus bersama-sama menjalankan gerakan “DISKRIMINASI-NO!” (Disampaikan dalam HUT Partai democrat di Istora Senayan, 9/9 2004).
Janji haruslah ditepati, apalagi janji-janji yang diucapakan di hadapan rakyat dan sesungguhnya untuk rakyat yang juga memilihnya, janji, bukan hanya harus tetapi wajib untuk ditepati. Kelihatannya menjelang akhir pemerintahannya masih banyak PR yang belum terselesaikan. Misalnya berbagai pelanggaran HAM yang masih banyak terjadi dan belum terselesaikan secara tuntas, seperti: kejahatan terhadap kemanusiaan, diskriminasi, penindasan, intimidasi, pemberangusan kekerasan terhadap anak, trafficking, perusakan lingkungan dan perusakan serta penutupan rumah ibadah.
Regulasi yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah ketidak-rukunan dalam masyarakat seperti SKB 1969 dan Perber 2006 ternyata tidak ada korelasinya dengan kerukunan dan ketidak-rukunan di dalam masyarakat, karena terbukti berdasarkan data yang menggambarkan Korelasi Perusakan dan Penutupan Rumah ibadah dengan SKB 1969 dan Perber 2006, terbukti intensitas penutupan rumah ibadah justru semakin meningkat. Sebelum diterbitkannya SKB 1969 rata-rata penutupan Gereja 1 gereja per 4,8 tahun, sedangkan pada masa pemberlakuan SKB selama 37 tahun rata-rata gereja yang ditutup 2-3 gereja per bulan dan pada masa Perber yang baru berjalan 17 bulan 3-4 gereja per bulan.
Intensitas penutupan/perusakan tertinggi terjadi pada masa pemerintahan BJ Habibie.
Begitu banyak data dan cukup bukti atas terjadinya pelanggaran HAM, terutama terhadap rumah ibadah dan hak untuk beribadah, namun aneh tapi nyata, tidak seorang pun pelanggar hukum dan HAM ini ditangkap, diadili dan dihukum!.
Hak atas kebebasan beragama dan beribadah adalah kebebasan dasar (fundamental freedom rights) yang melekat (inherent) dalam diri setiap manusia yang tidak boleh direnggut oleh siapa pun dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar