Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Inspirasi Kehidupan

Jumat, 01 April 2011

Pengangguran dan Cara Mengatasinya

Pengangguran adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang mencari pekerjaan dan belum mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya seperti ibu rumah tangga, siswa sekolan SMP, SMA, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang karena sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan.

Setengah Pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Setengah pengangguran dibagi menjadi dua kelompok : Setengah Penganggur Terpaksa, yaitu mereka yang bekerja dibawah jam kerja normal dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan lain.

Setengah Penganggur Sukarela, yaitu mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain, misalnya tenaga ahli yang gajinya sangat besar.

Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, listrik, air bersih dan sebagainya setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan.

Oleh karena itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya.
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesuai dengan UUD 45 pasal 27 ayat 2. Sebagai solusi pengangguran berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, untuk itu diperlukan kebijakan yaitu :
1. Peningkatan Mobilitas Tenaga kerja dan Moral

Peningkatan mobilitas tenaga kerja dilakukan dengan memindahkan pekerja ke kesempatan kerja yang lowong dan melatih ulang keterampilannya sehingga dapat memenuhi tuntutan kualifikasi di tempat baru. Peningkatan mobilitas modal dilakukan dengan memindahkan industry (padat karya) ke wilayah yang mengalami masalah pengangguran parah. Cara ini baik digunakan untuk mengatasi msalah pengangguran structural.

2. Pengelolaan Permintaan Masyarakat

Pemerintah dapat mengurangi pengangguran siklikal melalui manajemen yang mengarahkan permintaan-permintaan masyarakat ke barang atau jasa yang tersedia dalam jumlah yang melimpah.

3. Penyediaan Informasi tentang Kebutuhan Tenaga Kerja

Untuk mengatasi pengangguran musiman, perlu adanya pemberian informasi yang cepat mengenai tempat-tempat mana yang sedang memerlukan tenaga kerja.

Masalah pengangguran dapat muncul karena orang tidak tahu perusahaan apa saja yang membuka lowongan kerja, atau perusahaan seperti apa yang cocok dengan keterampilan yang dimiliki. Masalah tersebut adalah persoalan informasi.

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diadakan system informasi yang memudahkan orang mencari pekerjaan yang cocok. System seperti itu antara lain dapat berupa pengumuman lowongan kerja di kampus dan media massa. Bias juga berupa pengenalan profil perusahaan di sekolah-sekolah kejuruan, kampus, dan balai latihan kerja.

4. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi baik digunakan untuk mengatasi pengangguran friksional. Dalam situasi normal, pengangguran friksional tidak mengganggu karena sifatnya hanya sementara. Tingginya tingkat perpindahan kerja justru menggerakan perusahaan untuk meningkatkan diri (karir dan gaji) tanpa harus berpindah ke perusahaan lain.

Menurut Keynes, pengangguran yang disengaja terjadi bila orang lebih suka menganggur daripada harus bekerja dengan upah rendah. Di sejumlah Negara, pemerintah menyediakan tunjangan/santunan bagi para penganggur. Bila upah kerja rendah maka orang lebih suka menganggur dengan mendapatkan santunan penganggur. Untuk mengatasi pengangguran jenis ini diperlukan adanya dorongan-dorongan (penyuluhan) untuk giat bekerja.

Pengangguran tidak disengaja, sebaliknya, terjadi bila pekerja berkeinginan bekerja pada upah yang berlaku tetapi tidak mendapatkan lowongan pekerjaan. Dalam jangka panjang masalah tersebut dapat diatasi dengan pertumbuhan ekonomi.

5. Program Pendidikan dan Pelatihan Kerja

Pengangguran terutama disebabkan oleh masalah tenaga kerja yang tidak terampil dan ahli. Perusahaan lebih menyukai calon pegawai yang sudah memiliki keterampilan atau keahlian tertentu. Masalah tersebut amat relevan di Negara kita, mengingat sejumlah besar penganggur adalah orang yang belum memiliki keterampilan atau keahlian tertentu.

6. Wiraswasta

Selama orang masih tergantung pada upaya mencari kerja di perusahaan tertentu, pengangguran akan tetap menjadi masalah pelik. Masalah menjadi agak terpecahkan apabila muncul keinginan untuk menciptakan lapangan usaha sendiri atau berwiraswasta yang berhasil.



Pancasila sebagai Ideologi Bangsa


Setiap bangsa di era Negara modern saat ini selalu memiliki falsafah, baik yang dibakukan secara tertulis maupun tidak tertulis, yang merupakan landasan bagi ideologi negara, atau pedoman dasar bagi sistem pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bangsa yang baru merdeka dan berdaulat Para founding fathers kita telah bersepakat secara politik untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara. Pancasila dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Secara ideologis kita sepakat untuk membangun Negara hukum versi Indonesia yaitu Negara hukum berdasarkan Pancasila. Pancasila kita jadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Nilai-nilai Pancasila harus mewarnai secara dominan setiap produk hukum, baik pada tataran pembentukan, pelaksanaan maupun penegakannya.

Pancasila sebagai ideologi diartikan sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, dan keyakinan bangsa Indonesia mengenai sejarah, masyarakat, hukum dan negara Indonesia sebagai hasil kristalisasi nilai-nilai yang sudah ada di bumi Indonesia bersumber pada adat-istiadat, budaya, agama, dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila sebagai ideologi digali dan ditemukan dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat Indonesia serta bersumber dari pandangan hidup bangsa. Oleh karena itu, ideologi Pancasila milik semua rakyat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian, rakyat Indonesia berkewajiban untuk mewujudkan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, serta jiwa dan hasrat yang mendalam, serta perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan juga mempunyai isi dan arti (unsur-unsur yang menyusun Pancasila tersebut), sebagaimana tercermin dalam Mukaddimah Konstitusi 1945. Lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu­judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca­sila itu  mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne­gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah­teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde­kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.

Namun dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut bisa berupa penambahan, pengurangan, dan penyimpangan dari makna yang seharusnya. Walaupun seiring dengan itu sering pula terjadi upaya pelurusan kembali. Pancasila sebagai ideologi yang terbuka atau ideologi yang dinamis, akan senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah, dan oleh karena itu pula membutuhkan adanya sebuah strategi baru dalam memperkokoh ideologi bangsa dan negara yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Pada titik inilah, membincangkan kembali Pancasila, terasa menjadi sangat unik, dan perlu untuk direspon oleh kalangan yang memiliki kecintaan terhadap masa depan bangsa Indonesia.

Harapan Kita ke Depan

Dalam praktek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar (grounded, dogmatc) dimensi kultur seyogyanya mendahului dua dimensi lainnya, karena di dalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan.

Masyarakat kita sekarang ini tidak hanya mendambakan sekedar adanya peraturan hukum, tetapi lebih dari itu, masalah yang kemudian mengemuka dan muncul ke permukaan ialah apakah masih ada unsur keadilan dalam sistem hukum yang berlaku di semua sektor-sektor dan bidang kehidupan bangsa ini. Masyarakat semakin merindukan suatu tatanan hukum yang tidak hanya melayani hukum itu sendiri dalam hal penegakan hukum (law enforcement) di semua lini kehidupan, namun juga penegakan hukum dalam rangka pelayanan bagi masyarakat (public service), kemanfaatan hukum bagi kehidupan rakyat, serta keadilan social bagi sebagaimana amanat konstitusi.

Saat ini di bidang hukum terjadi perkembangan yang ironis serta kontra produktif, di satu sisi produk materi hukum, upaya pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, serta rasa keadilan yang ibarat jauh panggang daripada api. Kita masih menyaksikan bahwa mata hukum begitu terasah dan tajam ketika berlaku bagi orang kecil, namun hukum terasa sangat tumpul dan terkesan tidak berdaya ketika berhadapan dengan pelanggar hukum dari kalangan yang memiliki uang dan kuasa di negeri ini.

Hal ini perlu menjadi perhatian serius karena pada saat ini, kecenderungan masyarakat untuk memercayai produk hokum, perilaku aparatur Negara, maupun hasil-hasil proses peradilan formal (yang notabene bersumber dari Pancasila) terasa jauh dari rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat. Dari sini kita bisa mengembalikan kepada (asas) falsafah keberadaan hukum dalam fungsinya sebagai perlindungan manusia, hukum mempunyai tujuan; menciptakan tatanan yang tertib dalam masyarakat yang tidak hanya mengedepankan asas kepastian hukum semata, namun juga asas kemanfaatan dan juga asas keadilan yang harus dipertimbangkan.

Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam pelaksanaanya sesuai dengan hukum, harus sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai dengan ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat. Di sinilah kita bisa menempatkan kembali Pancasila sebagai symbol pemersatu bangsa, semangat Bhinneka Tunggal Ika perlu kita jewantahkan tidak hanya sebatas semboyan, namun teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat kita semakin merindukan suatu tatanan keadilan social yang mereka dambakan sebagai suatu tatanan kehidupan ekonomi, social budaya, politik, hukum yang bisa memberikan rasa keadilan subtansif, tidak hanya sekedar retorika semata.

Pedagang Kaki Lima dalam Segi Hukum

Di kota-kota besar keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil. Akhir-akhir ini fenomena penggusuran terhadap para PKL marak terjadi. Para PKL digusur oleh aparat pemerintah seolah-olah mereka tidak memiliki hak asasi manusia dalam bidang ekonomi sosial dan budaya (EKOSOB). Saya melihat PKL ini merupakan fenomena kegiatan perkonomian rakyat kecil, yang mana mereka berdagang hanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari.

Pedagang Kaki Lima ini timbul dari adanya suatu kondisi pembangunan perekonomian dan pendidikan yang tidak merata diseluruh NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia ) ini. PKL ini juga timbul dari akibat dari tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan dalam berproduksi. Pemerintah dalam hal ini sebenarnya memiliki tanggung jawab didalam melaksanakan pembangunan bidang pendidikan, bidang perekonomian dan penyediaan lapangan pekerjaan. Ketentuan ini diatur dalam peraturan perundang-undangan yang tertinggi yaitu UUD 45. Diantaranya adalah :

Pasal 27 ayat (2) UUD 45 : “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Pasal 31 UUD 45 :
(1) Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pasal 33 UUD 45 :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pasal 34 UUD 45 :
(1) Fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh Negara
(2) Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Dengan adanya pengaturan mengenai tanggung jawab pemerintah dalam UUD 45, hal ini menunjukkan bahwa Negara kita adalah Negara hukum. Segala hal yang berkaitan dengan kewenangan, tanggung jawab, kewajiban, dan hak serta sanksi semuanya diatur oleh hukum.

Akan tetapi ternyata ketentuan-ketentuan diatas hanya berkutat pada kertas saja. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai tanggung jawab pemerintah dalam bidang pendidikan, perekonomian dan penyediaan lapangan pekerjaan belum pernah terealisasi secara sempurna. Hal ini dapat dibuktikan dengan besarnya jumlah rakyat miskin di Indonesia . Kemiskinan ini diakibatkan oleh tidak adanya pemerataan kemajuan perekonomian, peningkatan kwalitas pendidikan dan penyediaan lapangan pekerjaan oleh pemerintah. Data terakhir dari jumlah rakyat miskin di Indonesia adalah 18 juta keluarga, jika setiap keluarga terdiri dari 3 orang, itu berarti terdapat sekitar 54 juta jiwa penduduk Indonesia termasuk kategori miskin (sumber Badan Pusat Statistik). Jumlah ini masih yang terdata, bagaimana dengan orang-orang miskin yang tidak terdata, mungkin jumlahnya akan semakin besar.

Mengapa rakyat miskin ini sangat besar jumlahnya ???. Padahal pemerintah telah diberi tangung jawab oleh UUD 45. Permasalahan ini timbul diakibatkan oleh adanya watak atau mental para birokrat kita yang korup. Sudah banyak sekali dana baik itu dari RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) atau bantuan dari Negara-negara maju didalam menuntaskan masalah kemiskinan. Dana-dana tersebut banyak yang tidak jelas penggunaannya, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang penggunaannya hanya untuk memperkaya para pihak birokrat saja.

Jadi sangat wajar sekali fenomena Pedagang Kaki Lima ini merupakan imbas dari semakin banyaknya jumlah rakyat miskin di Indonesia . Mereka berdagang hanya karena tidak ada pilihan lain, mereka tidak memiliki kemampuan pendidikan yang memadai, dan tidak memiliki tingkat pendapatan ekonomi yang baik dan tidak adanyanya lapangan pekerjaan yang tersedia buat mereka. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk membiayai keluarganya ia harus berdagang di kaki lima . Mengapa pilihannya adalah pedagang kaki lima ???? Karena pekerjaan ini sesuai dengan kemampuan mereka, yaitu modalnya tidak besar, tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi, dan mudah untuk di kerjakan.

Di NKRI ini belum ada undang-undang yang khusus mengatur Pedagang Kaki lima . Padahal fenomena pedagang kaki lima sudah merupakan permasalahan yang pelik dan juga sudah merupakan permasalahan nasional, karena disetiap kota pasti ada pedagang kaki limanya. Pengaturan mengenai Pedagang Kaki Lima ini hanya terdapat dalam peraturan daerah (perda). Perda ini hanya mengatur tentang pelarangan untuk berdagang bagi PKL di daerah-daerah yang sudak ditentukan. Namun mengenai hak-hak PKL ini tidak diatur didalam perda tersebut. Untuk kota Bandung , ketentuan mengenai PKL ini diatur didalam Perda no 03 2005 jo. Perda no.11 tahun 2005.

Perlindungan hukum bagi Pedagang Kaki Lima

Walaupun tidak ada pengaturan khusus tentang hak-hak Pedagang Kaki Lima, namun kita dapat menggunakan beberapa produk hukum yang dapat dijadikan landasan perlindungan bagi Pedagang Kaki Lima. Ketentuan perlindungan hukum bagi para Pedagang Kaki Lima ini adalah :
Pasal 27 ayat (2) UUD 45 : “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Pasal 11 UU nomor 39/199 mengenai Hak Asasi Manusia : “ setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.”
Pasal 38 UU nomor 39/1999 mengenai Hak Asasi Manusia :
(1) “ Setiap warga Negara, sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang di sukainya dan ……….”

Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil : “ Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindunga, dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk :
a. menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima , serta lokasi lainnya.
b. memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.

Dengan adanya beberapa ketentuan diatas, pemerintah dalam menyikapi fenomena adanya pedagang kaki lima , harus lebih mengutamakan penegakan keadilan bagi rakyat kecil. Walaupun didalam Perda K3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban) terdapat pelarangan Pedagang Kaki Lima untuk berjualan di trotoar, jalur hijau, jalan, dan badan jalan, serta tempat-tempat yang bukan peruntukkannya, namun pemerintah harus mampu menjamin perlindungan dan memenuhi hak-hak ekonomi pedagang kaki lima .

Hak-hak PKL ketika dilakukan pembongkaran

Fenomena dalam pembongkaran para PKL ini sangat tidak manusiawi. Pemerintah selalu menggunakan kata penertiban dalam melakukan pembongkaran. Sangat disayangkan ternyata didalam melakukan penertiban sering kali terjadi hal-hal yang ternyata tidak mencerminkan kata-kata tertib itu sendiri. Kalau kita menafsirkan kata penertiban itu adalah suatu proses membuat sesuatu menjadi rapih dan tertib, tanpa menimbulkan kekacauan atau masalah baru.

Pemerintah dalam melakukan penertiban sering kali tidak memperhatikan, serta selalu saja merusak hak milik para pedagang kaki lima atas barang-barang dagangannya. Padahal hak milik ini telah dijamin oleh UUD 45 dan Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. Diantaranya berbunyi sebagai berikut :
a.       Pasal 28 G ayat (1) UUD 45, berbunyi “ setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi; keluarga; kehormatan; martabat; dan harta benda yang dibawah kekuasaannya , serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
b.      Pasal 28 H ayat (4) UUD 45, berbunyi “ setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang.”
c.       Pasal 28 I ayat (4) UUD 45, berbunyi “ perlindungan; pemajuan; penegakan; dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah.”
Sedangkan didalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 mengenai HAM, berbunyi sebagai berikut :
a.       Pasal 36 ayat (2) berbunyi “ tidak seorang pun boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang.”
b.      Pasal 37 ayat (1) berbunyi “ pencabutan hak milik atas sesuatu benda demi kepentingan umum; hanya dapat diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan serta pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
c.       Pasal 37 ayat (2) berbunyi “ apabila ada sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik itu untuk selama-lamanya maupun untuk sementara waktu, maka hal itu dilakuakan dengan mengganti kerugian.
d.       Pasal 40 berbunyi “ setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.”

Pemerintah didalam melakukan penertiban harusnya memperhatikan dan menjunjung tinggi hak milik para PKL atas barang dagangannya. Ketika pemerintah melakukan pengrusakan terhadap hak milik para PKL ini, maka ia sudah melakukan perbuatan melanggar hukum, yakni ketentuan yang terdapat dalam hukum pidana dan juga ketentuan yang terdapat didalam hukum perdata.

Bagaimana kita mau menegakkan suatu hukum dan keadilan, ketika cara (metode) yang dipergunakan justru melawan hukum. Apun alasannya PKL ini tidak dapat disalahkan secara mutlak. Harus diakui juga memang benar bahwa PKL melakukan suatu perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan yang ada didalam perda. Akan tetapi pemerintah juga telah melakukan suatu perbuatan kejahatan ketika ia melakukan pengrusakan atas hak milik barang dagangan PKL, dan pemerintah juga harus mengganti kerugian atas barang dagangan PKL yang dirusak.

Pemerintah belum pernah memberikan suatu jaminan yang pasti bahwa ketika para PKL ini di gusur, mereka harus berjualan di tempat seperti apa. Jangan-jangan tempat yang dijadikan relokasi para PKL tersebut, ternyata bukanlah suatu pusat perekonomian. Sekarang ini penguasaan pusat kegiatan perekonomian justru di berikan pada pasar-pasar hipermart atau pasar modern dengan gedung yang tinggi serta ruangan yang ber AC. Para pedagang kecil hanya mendapatkan tempat pada pinggiran-pinggiran dari kegiatan perekonomian tersebut.

Untuk itu pemerintah kota harus menjelaskan secara terperinci tempat-tempat seperti apa saja yang dilarang atau pun yang diperbolehkan didalam berdagang. Apabila hanya tempat2 yang dilarang saja yang disebutkan, maka pemerintah sama saja dengan menghilangkan hak-hak rakyat dalam mengakses pendapatan dari perputaran kegiatan ekonomi di suatu tempat yang strategis. Secara hukum para PKL ini sudah dijamin hak nya dalam mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Mengenai sanksi adanya biaya paksa penegakan hukum ini juga hal yang aneh. Karena didalam penegakan hukum tidak pernah ada biaya paksa penegakan hukum. Biaya mengenai penegakan hukum itu sudah merupakan bagian dari anggaran instansi-instansi penegak hukum, seperti Kepolisian, TNI, dan Polisi Pamong Praja. Masing-masing instansi tersebut sudah memiliki anggaran didalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannnya. Jadi adanya biaya paksa penegakan hukum ini sangat tidak rasional dan tidak jelas apa tujuannya. Adanya biaya paksa penegakan hukum ini memiliki dasar hukum didalam pasal 143 UU Nomor 32 mengenai Pemerintahan Daerah. Akan tetapi adanya pasal ini juga harus di pertanyakan karena tidak jelas apa fungsi dan kegunaannya serta instansi apa yang berwenang mengelola biaya ini. Dan juga hal ini akan memberikan peluang akan adanya praktek korupsi didalam penegakan hukum itu sendiri.

Harus diakui bahwa PKL ini timbul dari adanya ketimpangan sosial dan pembangunan perekonomian serta pendidikan yang tidak merata di Negara ini. Untuk mengakhiri tulisan ini, saya coba mengutip perkataan Bernard Haring “Moralitas dan kemerdekaan kita hanya akan tetap menjadi impian belaka jika tidak melahirkan dampak pada kehidupan sosial-ekonomi dan politik.”

Konsepsi Otonomi Daerah di Indonesia


Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi NKRI. Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai desentralisasi territorial. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat Negara. Artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan Negara Republik Indonesia tidak akan terbagi diantara kesatuan-kesatuan pemerintah. Sementara itu nilai dasar desentralisasi territorial diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi daerah.

Dikaitakan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan pembagian wilayah kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal ini karena dalam penyelenggaraan desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting yakni, pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-bagian tertentu urusan pemerintah.

Sebenarnya sehari sesudah merdeka, Negara Kesatuan RI pada dasarnya telah menetapkan pilihannya secara formal pada dianutnya asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Hal itu dapat disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya. 

Dalam pasal 18 UUD 1945, antara lain dinyatakan bahwa “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”. Sementara, dalam penjelasan pasal tersebut antara lain dikemukakan bahwa:
“…oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat otonom (streck dan locale rechtsgemeenchappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang”.

Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami perubahan. Perubahan tersebut tidak merubah esensinya, tapi lebih bersifat mempertegas, memperjelas dan melengkapi. Disebutkan, misalnya, “Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah” (pasal 18 ayat 1). Pemerintah daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat 2). Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (pasal 18 ayat 5 UUD 1945).

Secara etimologi, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang berarti sendiri dan “nomos”aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini berkembang menjadi “pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian sendiri (Josep Riwu Kaho,1991:14). Sementara itu, dalam UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. yang berarti

Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-17) menyebutkan berbagai teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana yang merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab.

Dalam sistem residu, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikannya terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang kemampuannya terbatas.

Sementara, dalam sistem material, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terinci. Di luar tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat. Kelemahannya, sistem ini kurang fleksibel karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah harus dilakukannya melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Akibatnya, memghambat kemajuan daerah, karena mereka harus menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan menjadi terbengkelai, tidak diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh pemerintah daerah. Sedangkan dalam sistem formal, daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan kata lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Dalam sistem otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di dalam masyarakat, maka kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas atau urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melihat kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada pemerintah pusat atau ditarik kembali dari daerah .

Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dikenal dalam UU No.5 tahun 1974 sebagai salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Dalam UU tentang Pemerintah Daerah yang baru, yaitu UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.

Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sementara itu, dalam penjelasan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Yang dimaksud prinsip otonomi seluas-luasnya adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sedangkan prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antara daerah. Hal yang penting juga adalah bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib memberikan fasilitasi berupa pemberian peluang, kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.