Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Inspirasi Kehidupan

Selasa, 27 September 2011

Transportasi Jakarta yang Mati

Leuwis Mumford (1961) mengungkapkan bahwa permukiman, pertahanan dan kegiatan ekonomi adalah faktor yang membuat geliat munculnya wilayah perkotaan. Wilayah ini memang memikat masyarakat untuk datang, karena daerah ini memiliki beberapa pusat kegiatan seperti pusat pemerintahan, pasar, pusat peribadatan, pusat kegiatan seni, benteng pertahanan, dsb. Wilayah ini dapat dianologikan seperti container yang harus menampung kegiatan masyarakat yang bermukim didalamnya dengan berbagai kegiatan yang dilakukannya, tidak hanya menampung penduduk di dalam tapi container ini juga menjadi magnet bagi penduduk dari luar untuk berkegiatan, sehingga tidak heran jika terjadi kepadatan pada saat-saat tertentu di suatu pusat kegiatan, seperti pasar atau pusat peribadatan di wilayah container. Kondisi demikian diungkapkan oleh Leuwis Mumford sebagai gejala implosi kota yang menjelaskan mengenai magnet yang dimiliki oleh wilayah kota sehingga penduduk yang bermukim di dalam dan di luar wilayah pusat kota mau tidak mau menjadi bergantung dengan keberadaan kota dan berbagai sarana dan prasarananya.

Seperti dua sisi mata uang, proses yang dijelaskan di atas lambat laun akan menyebabkan kota menjadi sangat padat dan mengalami pemekaran wilayah fungsi, hal ini terjadi karena kota menjadi pilihan tunggal untuk bermukim dan bekerja. Gejala tersebut telah mendunia, sehingga tidak dapat ditawar lagi kebutuhan sistem pengelolaan kota yang menyatukan teritori meski bukan secara administrasi agar fungsi kota dapat tetap berlanjut dan bertahan. Kota Jakarta sebagai metropolitan dalam perkembangannya saat ini telah dihuni oleh sekitar 9 juta penduduk di malam hari, dan sekitar 12 juta penduduk di siang hari, pergerakan masuknya para penglaju ini menambah masuknya 600.000 kendaraan bermotor setiap harinya ke Jakarta, aliran tersebut di belum termasuk aliran 11 juta kendaraan bermotor warga Jakarta yang melaju setiap harinya dan senantiasa bertambah 7% pertahunnya.

Delapan fungsi yang dimiliki Jakarta menjadikan kota ini memiliki banyak magnet untuk menjadi daerah tujuan kedatangan bagi banyak orang, sehingga tidak heran jika urbanisasi yang terjadi setiap tahunnya mengalirkan 200.000-250.000 jiwa dari berbagai wilayah ke Jakarta, belum lagi ditambah aliran penglaju harian yang mencapai 4.094.359 jiwa (Sitramp, 2000). Kondisi ini menyebabkan kepadatan populasi di Jakarta yang berimbas pada berbagai permasalahan yang harus dihadapi, seperti polusi, persampahan, transportasi, kriminalitas, kelangkaan tanah untuk perumahan, dsb.

Transportasi sebagai sektor yang menjadi tulang punggung pergerakan dan berjalannya berbagai sektor pembangunan kota, untuk itu jika transportasi bermasalah maka terdapat berbagai turunan masalah yang dirasakan secara langsung oleh pembangunan yang sedang dilakukan di berbagai sektor, seperti inefisiensi waktu tempuh/berproduksi, inefisiensi bahan bakar, polusi udara & kebisingan, dampak fisik lingkungan, dsb. Masalah transportasi di Jakarta merupakan buah dari implementasi perencanaan inkremental dan politis dalam penataan ruang yang tidak sepenuhnya mengikuti koridor yang ditetapkan dalam perencanaan komprehensif (induk), padahal transportasi merupakan kunci menyelesaikan masalah perkotaan di Jakarta. Untuk itu pengelolaan jaringan transportasi yang link and match antar moda dan pembangunan sarana transportasi harus memiliki pola yang regional based tidak corridor based sehingga penduduk akan dapat berinteraksi dengan mudah dan nyaman, hal ini nantinya akan berbuah pada produktivitas yang tinggi dari sebuah kota.

Bagian dari tujuan Rencana Induk Jakarta (1965-1985) adalah mendorong pembukaan wilayah untuk menjadi pusat pertumbuhan, baik di tengah kota Jakarta maupun di koridor penghubung antara Jakarta dan wilayah sekitarnya. Namun pembukaan wilayah terbangun tersebut tidak segera diikuti dengan penyediaan sarana dan prasarana kota yang memadai dan tepat waktu, sementara pembangunan di sekitar perbatasan Jakarta dengan Bodetabek terus terjadi sehingga hal yang dikhawatirkan adalah terjadinya konurbasi yang hanya akan memperluas cakupan wilayah yang harus dikelola Jakarta dengan potensi diri yang relatif tetap, kondisi ini jelas akan membuat pengelolaan yang dilakukan Pemerintah Daerah Jakarta tidak optimal. Pada kenyataannya saat ini wilayah terbangun yang direncanakan Jakarta dengan berbagai fungsinya telah melewati batas administrasi kota Jakarta sendiri (overbounded) hal ini menjadikan beberapa wilayah fungsi yang terkait dengan fungsi jakarta meluas ke wilayah sekitarnya, namun kondisi ini dapat berjalan dengan baik jika pengelolaan Jakarta dan wilayah sekitarnya yang senantiasa berkoordinasi, saling mendukung dan memperkuat keberadaan fungsi masing-masing kota/wilayah dan tentunya didukung oleh ketersediaan jaringan transportasi yang memadai sehingga pengelolaan kota dapat dirasakan efektif dan efisien.

Dari berbagai sumber diketahui bahwa inefisiensi yang terjadi akibat pembukaan wilayah terbangun seperti yang disebutkan di atas diantaranya adalah sulitnya pengendalian persebaran penduduk yang merata secara geografis, sulitnya pengendalian pertumbuhan pusat-pusat kegiatan ekonomi di ibukota saja, jaringan jalan dan angkutan umum belum berpola sementara itu jumlah kommuter terus meningkat, belum terpadunya rencana tata ruang, rencana pembangunan wilayah jangka panjang dan rencana pembangunan wilayah jangka menengah, belum adanya kelembagaan antar kota yang mampu mengkordinasikan pemerintah-pemerintah kabupaten/kota di dalam wilayah Jabodetabek di bidang perencanaan tata ruang, perencanaan sektor, promosi investasi sarana dan prasarana kota, monitoring dan evaluasi pembangunan.

Selain inefisiensi di atas yang harus dihadapi Jakarta. kemacetan, tingginya polusi udara, banjir, kemiskinan, kelangkaan tanah, dsb merupakan beberapa dampak yang yang juga harus dihadapi Jakarta karena pengelolaan wilayah (Jabodetabek) yang berjalan sendiri-sendiri tanpa mempertimbangkan kesatuan wilayah sebagai suatu homogenitas potensi, padahal efek pembangunan dari wilayah-wilayah yang berdampingan tidak hanya dirasakan oleh wilayah itu sendiri namun juga oleh wilayah sekitarnya. Seperti kejadian banjir tahunan yang kerap melanda Jakarta, selain karena karakter fisik wilayah Jakarta yang landai, banjir juga merupakan bagian dari dampak penggunaan tanah di hulu sungai Ciliwung (Bogor) yang tersegregasi dengan pengelolaan di hilir yang memang memiliki batasan wilayah administratif yang berbeda, padahal sepanjang Sepanjang Sungai Ciliwung merupakan wilayah homogen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar