Leuwis Mumford (1961) mengungkapkan bahwa permukiman, pertahanan
dan kegiatan ekonomi adalah faktor yang membuat geliat munculnya wilayah
perkotaan. Wilayah ini memang memikat masyarakat untuk datang, karena daerah
ini memiliki beberapa pusat kegiatan seperti pusat pemerintahan, pasar, pusat
peribadatan, pusat kegiatan seni, benteng pertahanan, dsb. Wilayah ini dapat
dianologikan seperti container yang harus menampung kegiatan masyarakat
yang bermukim didalamnya dengan berbagai kegiatan yang dilakukannya, tidak
hanya menampung penduduk di dalam tapi container ini juga menjadi magnet
bagi penduduk dari luar untuk berkegiatan, sehingga tidak heran jika terjadi
kepadatan pada saat-saat tertentu di suatu pusat kegiatan, seperti pasar atau
pusat peribadatan di wilayah container. Kondisi demikian diungkapkan
oleh Leuwis Mumford sebagai gejala implosi kota yang menjelaskan mengenai
magnet yang dimiliki oleh wilayah kota sehingga penduduk yang bermukim di dalam
dan di luar wilayah pusat kota mau tidak mau menjadi bergantung dengan
keberadaan kota dan berbagai sarana dan prasarananya.
Seperti dua sisi mata uang,
proses yang dijelaskan di atas lambat laun akan menyebabkan kota menjadi sangat
padat dan mengalami pemekaran wilayah fungsi, hal ini terjadi karena kota
menjadi pilihan tunggal untuk bermukim dan bekerja. Gejala tersebut telah mendunia,
sehingga tidak dapat ditawar lagi kebutuhan sistem pengelolaan kota yang
menyatukan teritori meski bukan secara administrasi agar fungsi kota dapat
tetap berlanjut dan bertahan. Kota Jakarta sebagai metropolitan dalam
perkembangannya saat ini telah dihuni oleh sekitar 9 juta penduduk di malam
hari, dan sekitar 12 juta penduduk di siang hari, pergerakan masuknya para
penglaju ini menambah masuknya 600.000 kendaraan bermotor setiap harinya ke
Jakarta, aliran tersebut di belum termasuk aliran 11 juta kendaraan bermotor
warga Jakarta yang melaju setiap harinya dan senantiasa bertambah 7%
pertahunnya.
Delapan
fungsi yang dimiliki Jakarta menjadikan kota ini memiliki banyak magnet untuk
menjadi daerah tujuan kedatangan bagi banyak orang, sehingga tidak heran jika
urbanisasi yang terjadi setiap tahunnya mengalirkan 200.000-250.000 jiwa dari
berbagai wilayah ke Jakarta, belum lagi ditambah aliran penglaju harian yang
mencapai 4.094.359 jiwa (Sitramp, 2000). Kondisi ini menyebabkan kepadatan
populasi di Jakarta yang berimbas pada berbagai permasalahan yang harus
dihadapi, seperti polusi, persampahan, transportasi, kriminalitas, kelangkaan
tanah untuk perumahan, dsb.
Transportasi
sebagai sektor yang menjadi tulang punggung pergerakan dan berjalannya berbagai
sektor pembangunan kota, untuk itu jika transportasi bermasalah maka terdapat
berbagai turunan masalah yang dirasakan secara langsung oleh pembangunan yang
sedang dilakukan di berbagai sektor, seperti inefisiensi waktu
tempuh/berproduksi, inefisiensi bahan bakar, polusi udara & kebisingan,
dampak fisik lingkungan, dsb. Masalah transportasi di Jakarta merupakan buah
dari implementasi perencanaan inkremental dan politis dalam penataan ruang yang
tidak sepenuhnya mengikuti koridor yang ditetapkan dalam perencanaan
komprehensif (induk), padahal transportasi merupakan kunci menyelesaikan
masalah perkotaan di Jakarta. Untuk itu pengelolaan jaringan transportasi yang link
and match antar moda dan pembangunan sarana transportasi harus memiliki
pola yang regional based tidak corridor based sehingga penduduk
akan dapat berinteraksi dengan mudah dan nyaman, hal ini nantinya akan berbuah
pada produktivitas yang tinggi dari sebuah kota.
Bagian dari tujuan Rencana Induk
Jakarta (1965-1985) adalah mendorong pembukaan wilayah untuk menjadi pusat
pertumbuhan, baik di tengah kota Jakarta maupun di koridor penghubung antara Jakarta
dan wilayah sekitarnya. Namun pembukaan wilayah terbangun tersebut tidak segera
diikuti dengan penyediaan sarana dan prasarana kota yang memadai dan tepat
waktu, sementara pembangunan di sekitar perbatasan Jakarta dengan Bodetabek
terus terjadi sehingga hal yang dikhawatirkan adalah terjadinya konurbasi yang
hanya akan memperluas cakupan wilayah yang harus dikelola Jakarta dengan
potensi diri yang relatif tetap, kondisi ini jelas akan membuat pengelolaan
yang dilakukan Pemerintah Daerah Jakarta tidak optimal. Pada kenyataannya saat
ini wilayah terbangun yang direncanakan Jakarta dengan berbagai fungsinya telah
melewati batas administrasi kota Jakarta sendiri (overbounded) hal ini
menjadikan beberapa wilayah fungsi yang terkait dengan fungsi jakarta meluas ke
wilayah sekitarnya, namun kondisi ini dapat berjalan dengan baik jika
pengelolaan Jakarta dan wilayah sekitarnya yang senantiasa berkoordinasi,
saling mendukung dan memperkuat keberadaan fungsi masing-masing kota/wilayah
dan tentunya didukung oleh ketersediaan jaringan transportasi yang memadai
sehingga pengelolaan kota dapat dirasakan efektif dan efisien.
Dari
berbagai sumber diketahui bahwa inefisiensi yang terjadi akibat pembukaan wilayah
terbangun seperti yang disebutkan di atas diantaranya adalah sulitnya
pengendalian persebaran penduduk yang merata secara geografis, sulitnya
pengendalian pertumbuhan pusat-pusat kegiatan ekonomi di ibukota saja, jaringan
jalan dan angkutan umum belum berpola sementara itu jumlah kommuter terus
meningkat, belum terpadunya rencana tata ruang, rencana pembangunan wilayah
jangka panjang dan rencana pembangunan wilayah jangka menengah, belum adanya
kelembagaan antar kota yang mampu mengkordinasikan pemerintah-pemerintah
kabupaten/kota di dalam wilayah Jabodetabek di bidang perencanaan tata ruang,
perencanaan sektor, promosi investasi sarana dan prasarana kota, monitoring dan
evaluasi pembangunan.
Selain
inefisiensi di atas yang harus dihadapi Jakarta. kemacetan, tingginya polusi
udara, banjir, kemiskinan, kelangkaan tanah, dsb merupakan beberapa dampak yang
yang juga harus dihadapi Jakarta karena pengelolaan wilayah (Jabodetabek) yang
berjalan sendiri-sendiri tanpa mempertimbangkan kesatuan wilayah sebagai suatu
homogenitas potensi, padahal efek pembangunan dari wilayah-wilayah yang
berdampingan tidak hanya dirasakan oleh wilayah itu sendiri namun juga oleh
wilayah sekitarnya. Seperti kejadian banjir tahunan yang kerap melanda Jakarta,
selain karena karakter fisik wilayah Jakarta yang landai, banjir juga merupakan
bagian dari dampak penggunaan tanah di hulu sungai Ciliwung (Bogor) yang
tersegregasi dengan pengelolaan di hilir yang memang memiliki batasan wilayah
administratif yang berbeda, padahal sepanjang Sepanjang Sungai Ciliwung
merupakan wilayah homogen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar