Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Inspirasi Kehidupan

Rabu, 28 September 2011

Tawuran Menjadi Budaya?

Menurut wikipedia bahasa Indonesia tawuran atau Tubir adalah istilah yang sering digunakan masyarakat Indonesia, khususnya di kota-kota besar sebagai perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok atau suatu rumpun masyarakat. Sebab tawuran ada beragam, mulai dari hal sepele sampai hal-hal serius yang menjurus pada tindakan bentrok.

Tawuran rasanya bukan sesuatu yang baru kita dengar yah. Sepertinya sejak zaman ayah-bunda atau mungkin kakek-nenek kejadian ini sudah sering terjadi, pertikaian siswa antar sekolah. Entah apa yang menyebabkan pangkal keributan. Umumnya masalah gank-gankan kah? Selain itu dalam periode tertentu, media pasti ada saja meliput tentang siswa sekolah yang tawuran. Kali ini, satu sekolah disorot habis-habisan karena aksi salah satu siswanya yang–menurut berita yang beredar–melakukan tindak kekerasan pada salah satu wartawan yang hendak meliput. Dalam pandangan saya, karena peristiwa ini melibatkan wartawan sebagai korban, maka berita menjadi besar dan disorot khalayak. Bisa jadi karena solidaritas sesama pekerja media, wartawan dari media lain turut menghembuskan berita ini hingga terdengar kemana-mana, membuat satu nama sekolah ini menjadi “terkenal”.

Yang menggelitik indra saya bukanlah masalah sikap media yang menggemakan berita ini, tapi budaya tawuran itu sendiri yang masih awet hingga kini. KENAPA?
Masih segar di ingatan saya, sejak SD kita sudah diajarkan budi pekerti melalui pelajaran PKn, juga ada pelajaran agama, yang intinya harus saling menghargai dengan orang lain, tenggang rasa, dan kawan-kawannya. Tidak ada satu butir pun dari pelajaran sekolah yang mengajarkan tindak kekerasan. Dari mana hasrat tawuran itu berasal dan kenapa bisa membudaya? Apakah sekolah sebagai penyelenggara pendidikan bisa dikatakan gagal dalam mendidik akhlak para calon penerus bangsa? Atau orangtuanyakah yang kurang bisa mendidik mereka untuk tidak menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar masalah.

Orang berkelahi biasanya dikarenakan gelegak emosi yang tak terkendali hingga merangsang saraf motorik menggunakan anggota tubuh untuk menyerang orang yang membuat mereka emosi, sekaligus untuk meluapkan emosi itu sendiri. Bisa dikatakan, adanya perkelahian adalah karena kurang bisanya seseorang dalam mengontrol emosi mereka. Seseorang yang kurang bisa mengontrol emosi, kepada siapa mereka harus berlabuh agar dapat menguasai diri mereka sendiri? Sekolah melalui bimbingan konseling? Orangtua? Lembaga keagamaan?

Ironisnya adalah, kata tawuran kerap diasosiasikan kepada lembaga pendidikan. Sebuah institusi untuk mendidik para calon penerus bangsa agar kelak dapat memberikan kontribusi yang baik di masyarakat. Kejadian tawuran di institusi tersebut jelas akan mencoreng nama sekolah tersebut karena dinilai tidak mampu menjaga anak-anak didik mereka terhindar dari bentrokan fisik. Tidak mampu mengajari siswa menjauhi aksi premanisme.

Melihat fenomena ini saya jadi berpikir, apakah kurikulum sekolah terlalu menitikberatkan pengembangan intelegensia dibanding pengembangan emosi (EQ), padahal setahu saya kini di perusahaan-perusahaan pun lebih mempertimbangkan calon karyawan yang memiliki EQ tinggi daripada IQ. Apakah Mendiknas perlu mengkaji ulang kurikulum pendidikan? Jika lembaga pendidikan tidak mengambil langkah pasti untuk memerangi aksi kekerasan yang dilakukan siswa, saya khawatir bagaimana mereka ke depannya? Bagaimana jika suatu hari mereka harus memimpin masyarakat? Apakah mereka akan mempertontonkan kembali aksi kekerasan di gedung parlemen?

Saya mengerti bahwa mereka masih usia pubertas, bisa dibilang masih labil dan tengah mencari jati diri, justru pada masa-masa transisi inilah perlu ada pihak yang mampu membimbing pembentukan karakter dan kepribadian mereka. Saya tidak secara penuh menuding lembaga pendidikanlah yang harus bertanggungjawab, tapi lembaga pendidikan memegang peranan penting di samping orangtua mereka, untuk turut mengarahkan mental anak didiknya. Selain itu, anak-anak lebih banyak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah bukan? Jangan sampai kita kecolongan generasi muda yang berpotensi hanya karena kurangnya pengarahan dalam pembentukan kepribadian mereka. Besar sekali harapan saya bahwa budaya tawuran ini lenyap dari bumi Indonesia dan benar-benar menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang cinta damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar